Ejakulasi Dini, Anti-Depresi Menunda Orgasme | |
Sudah delapan tahun pria 36 tahun ini mengarungi bahtera rumah tangga. Yang menyedihkan, dalam kurun waktu itu, warga Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ini belum bisa memuaskan kebutuhan seksual istrinya. Setiap kali akan melakukan penetrasi, ia keok duluan. Sperma sudah keluar sebelum penis masuk ke dalam vagina. Sampai kini, karyawan swasta itu belum dikaruniai anak. Ia sudah mencoba berbagai pengobatan alternatif dan obat-obat ilegal yang dijual di pasaran. Toh, tak banyak membantu. Pada akhir tahun lalu, ia menemui seorang dokter. Setelah berkonsultasi beberapa kali, dan diterapi, masalahnya mulai teratasi. Ia bisa melakukan penetrasi. "Saya puas, meski baru masuk sperma sudah keluar," ujarnya. Ari, sebut saja begitu, hanyalah salah satu contoh kasus penderita ejakulasi dini yang tergolong kronis. Belakangan, penderitanya memang makin meruyak. Angka yang besar mendorong pabrik obat berlomba melakukan penelitian mencari penangkal mujarab. Salah satunya Alza Corporation, anak perusahaan Johnson & Johnson. Jika Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA) memberi lampu hijau, pabrik obat yang bermarkas di Mountain View, California, Amerika Serikat, itu bakal segera melempar produk barunya. Merek obat itu belum disebut, tapi kandungan zat aktifnya sudah diketahui: dapoksetin hidroklorida. Seperti dikutip situs BBCNews.com, Selasa pekan lalu, obat tersebut terbukti dapat menunda orgasme pria. Pekan ini, Profesor Jon L. Pryor, ketua tim peneliti, direncanakan mempresentasikan enam halaman ringkasan risetnya dalam pertemuan tahunan Asosiasi Urologi Amerika di Amerika Serikat. Pryor bersama koleganya melakukan studi terhadap 2,614 pasien penderita ejakulasi dini berusia 18-77 tahun. Semua pasien itu setia melakukan hubungan seks monogami minimal enam bulan. Sebelum diberi obat, mereka ditanya keluhannya bermain seks. Sebagian besar mengeluh, kurang dari dua menit berpenetrasi sudah ejakulasi. "Malah ada yang kurang dari satu menit," ujar Pryor. Patokan inilah yang dipakai peneliti untuk melihat efektivitas obat tadi. Pasien dikelompokkan dalam dua grup. Satu grup diberi 30 mg atau 60 mg dapoksetin selama lebih dari tiga bulan. Grup lain dicekoki plasebo (obat bohongan). Lalu pasien ditanya 1-3 jam sesudah hubungan. Mereka juga dibekali jam pencatat kecepatan untuk melihat kapan ejakulasi terjadi. Pada dua pekan pertama penelitian, tak banyak perubahan pada pemakai dapoksetin. Sebanyak 75% pasien masih ejakulasi kurang dua menit. Tapi, setelah itu, terjadi penurunan kasus ejakulasi dini. Ejakulasi dini bisa ditunda 3-4 kali lebih lama. Bahkan tingkat kepuasan seksual mereka bertambah. Untuk pemakai dapoksetin 30 mg, sebelum berobat kepuasannya cuma 2,5%. Setelah menenggak pil dapoksetin, meningkat menjadi 38%. Lalu untuk dosis 60 mg, dari 22,3% menjadi 46,5%. Sebaliknya, pengonsumsi plasebo cuma meningkat dari 21,6% menjadi 24,6%. Menurut Pryor, kepuasan seks pasangan mereka ikut melonjak. Efek samping? Tak terlalu banyak. Cuma mual dan sakit kepala. Sebenarnya dapoksetin bukanlah obat baru. Sebelumnya sudah dipakai luas untuk penyakit gangguan jiwa. Ia bergolongan sama dengan Prozac, yang kerap dipakai sebagai obat antidepresi, yaitu golongan serotonin selective reuptake inhibitor. Tapi, karena hasil studi terakhir menunjukkan efek positif pada penderita ejakulasi, Alza mengajukan permohonan ke FDA. Jika disetujui, dapoksetin diklaim sebagai obat pertama di dunia yang khusus mengatasi ejakulasi dini. Itu persis seperti yang dialami sildenafil. Zat aktif obat disfungsi ereksi bermerek Viagra ini sebelumnya sudah dikenal sebagai obat penyakit jantung. Namun, lantaran dianggap sukses mengobati penis loyo, pil biru itu pun diklaim sebagai obat disfungsi ereksi. Dan, FDA merestuinya. Obat ini tentu memberi harapan bagi banyak pria. Menurut Dokter James H. Barada, urolog pada Pusat Kesehatan Seksual Pria, Albany, New York, Amerika Serikat, sepertiga laki-laki di dunia menderita ejakulasi prematur. Tak jelas angkanya, tapi 27%-34% laki-laki dari yang mengalami gangguan seksual kena ejakulasi dini. Ini lebih besar dari disfungsi ereksi yang cuma 12%. Di Indonesia, angkanya tak jauh berbeda. Akmal Taher, urolog pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengaku bahwa setiap bulan Klinik Impotensi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo kedatangan lima pasien ejakulasi dini. "Ini adalah 15%-20% dari total kunjungan ke klinik tersebut," katanya. Rata-rata pasien berumur 35-45 tahun. Ini berbeda dengan penderita disfungsi ereksi yang rata-rata di atas 50 tahun. Mereka yang datang biasanya berasal dari tipe yang gampang stres dan gelisah. Ketika pertama kali datang, mereka tidak langsung mengaku mengalami ejakulasi dini. Setelah dikorek, mereka bersedia bercerita banyak. Mereka pun datang ke dokter setelah gagal mencoba pengobatan alternatif dan obat bebas. Menurut Wimpie Pangkahila, seksolog pada Pusat Studi Andrologi dan Seksologi Universitas Udayana, ejakulasi prematur terjadi, antara lain, karena serotonin di otak tak berfungsi baik sehingga ejakulasi tak bisa diperlambat. Penyebab lain, beban stres dan kelelahan. Untuk itu, diperlukan obat yang mengatur aktivitas serotonin di otak. Menanggapi dapoksetin, Wimpie mengakui belum pernah meresepkannya. Tapi banyak obat yang bergolongan sama dengan dapoksetin yang sudah beredar di sini. Ia menyebut klomipramin dan fluoksetin. Seperti dapoksetin, keduanya dikenal sebagai obat gangguan jiwa. Kata Wimpie, obat itu manjur untuk mengatasi penyakit ejakulasi dini. "Sebanyak 80% pasien bisa disembuhkan dengan obat itu," ujarnya. Aries Kelana, Alfian, dan Anton Muhajir (Denpasar) [Kesehatan, Gatra Nomor 29 Beredar Senin, 30 Mei 2005] | |
Sumber: Gatra |
Tuesday, July 29, 2008
Ejakulasi Dini, Anti-Depresi Menunda Orgasme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment