Thursday, July 31, 2008

Malu Bicara Sesat Di Ranjang...

 
Malu Bicara Sesat Di Ranjang...

Masalah seksual pasangan suami-istri bukan persoalan biologis semata. Ada faktor psikologis yang ikut terlibat, termasuk kesetaraan pemahaman dan pengetahuan tentang seks.

Bagaimana kalau ternyata keduanya tidak setara?

Bulan madu umumnya menyisakan cerita manis. Namun, tidak jarang juga disertai pengalaman yang mengesankan, seperti cerita Nindi dan Michael. “From O-to-O, pokoknya kata Nindi kenes. “0” di sini kependekan dan orgasme. Bisa dibayangkan, betapa “hebohnya” pasangan itu menjalani masa bulan madu.

Toh ada beberapa pasangan yang menyimpan masa bulan madu di relung hati yang jauh dari ingatan, seperti yang dialami Marini. “Terus terang saya sulit menikmati masa-masa bulan madu kami. Saya justru merasa kok seperti sedang menjalani hari-hari ‘pemerkosaan’ yang berkepanjangan,” Marini membuka percakapan.

Marini benar-benar kaget oleh perilaku “beringas” suaminya, David, saat berhubungan seksual. Menurut dia, David suka terburu-buru dan main “tabrak” saja.

Karena tidak ingin merusak suasana bulan madu, Marini memilih bungkam seribu bahasa dan tidak membicarakan masalah itu dengan suaminya. Uniknya, sekalipun Marini merasa tersiksa, David justru merasa wajar-wajar saja.

AYO PUASKAN AKU!

* Marini datang dari keluarga puritan nan sangat konservatif dan ketat dalam hal seksualitas. Tabu untuk membicarakan masalah seks di dalam keluarga.

Saking tabunya, sekadar membeli buku tentang edukasi seks yang banyak beredar di pasaran pun Marini tidak berani. Alhasil, wawasan seksual Marini hanya sepenggal-sepenggal yang dia peroleh dari film-film romantis yang dia tonton atau cerita-cerita picisan yang dibacanya.

David pun sebenarnya berasal dari keluarga yang konservatif juga. Ia tidak setuju dengan seks pranikah. Hanya saja, ia pemuda yang telah sekian lama menyimpan fantasi-fantasi seks terliarnya. Liar sebab fantasi itu ia rangkai dari hasil menonton film biru atau gambar porno di internet atau majalah. Ia berjanji pada diri sendiri untuk melakukannya setelah menikah.

Gabungan antara komitmen untuk menjauhi seks bebas serta fantasi liarnya yang terus berkelana itulah yang membuat David bak “tanggul yang selalu nyaris jebol” ketika menikmati bulan madu bersama istrinya. Gairahnya menggelora. Tidak ada kata lain yang tepat baginya saat itu selain, “Ayo ... puaskan aku!”

Persoalan mulai timbul manakala mereka tidak pernah membuka diri mengenai keinginan atau harapan mereka dalam soal seks sebelum “janur melengkung” alias menikah. “Biarlah itu mengalir seperti air ... alami sajalah!” begitu kira-kira mereka berkilah. Mereka yakin, rasa cinta yang dalam di antara keduanya kelak pasti sanggup memecahkan semua masalah rumah tangga.

Begitulah, ketika David merasa “saat berpesta” di bulan madu tiba, Marini terkejut bukan main dan justru merasa tersiksa. Perbedaan persepsi, pemahaman, dan keinginan seksual itu akhirnya menjebak mereka dalam ketidakcocokan yang menyakitkan.

TANPA PENGETAHUAN MEMADAI

* Kasus kesenjangan pengetahuan seks macam David dan Marini tadi bisa terjadi dalam berbagai versi.

Misalnya, seorang istri terkejut sekali ketika diajak suaminya menonton film biru sebelum melakukan hubungan seks. Si istri risih sekali melihat adegan-adegan vulgar di film itu. Kesannya, seorang perempuan seolah sekadar menjadi pemuas nafsu lelaki belaka. Drinya merasa seakan suaminya sedang membanding-bandingkannya dengan para perempuan seksi di film itu. Bahkan muncul perasaan, suaminya menuntut dirinya supaya “sama panasnya” dengan para bintang film esek-esek itu. Akibatnya, selain risih ia jatuh minder, sebab dari segi fisik, gaya, dan hasrat, ia merasa kalah jauh dari si bintang film. Alhasil, rasa percaya dirinya jatuh setiap kali berhubungan seks, dan akibatnya tentu saja ia jarang mendapatkan kepuasan maksimal gara-gara situasi itu.

Kita memang sudah hidup di era informasi yang begitu modern. Segala informasi mengenai seks boleh dibilang berlimpah. Namun, kasus kesenjangan pengetahuan seks semacam di atas bukan sedikit jumlahnya. Tidak saja di Indonesia, di negara-negara yang jauh lebih maju seperti di Eropa pun terjadi.

Dalam hubungan suami-istri, pengetahuan seks yang benar itu penting. Sama pentingnya dengan aktivitas seks itu sendiri. Saat yang tepat untuk membicarakannya sebenarnya waktu sepasang insan hendak memutuskan untuk menikah. Mengapa sebelum menikah? Mengkomunikasikan topik sepenting masalah seksual perlu dilakukan sebelumnya untuk mengurangi potensi konflik di masa mendatang. Sama pentingnya seperti membicarakan masalah keuangan, anak, tempat tinggal, dan karier, maka membicarakan masalah seks akan membantu calon pasangan suami-istri saling mengetahui keinginan, harapan, dan persepsi masing-masing.

Masalahnya, bagi sebagian orang, membicarakan seks sebelum menikah terasa tidak nyaman. Kebanyakan wanita kurang leluasa membicarakan keinginan, harapan, atau pemahamannya mengenai seputar hubungan seks. Sebagian pria juga merasa tidak mudah membuka pembicaraan mengenai topik ini. Bahkan terkadang, para pelaku seks pranikah pun sering tidak mampu membahas topik ini secara sehat dan konstruktif.

TAK SEKADAR PROKREASI

* Melihat kasus-kasus seperti itu, mau tidak mau, nyaman atau tidak nyaman, mendiskusikan persoalan seks sebelum menikah wajib dilakukan. Dengan begitu kemungkinan persepsi yang berbeda di kemudian hari dapat diantisipasi atau dicarikan titik temunya.

Dari sisi komunikasi seks pranikah, perbedaan persepsi tentang tujuan, fungsi, dan manfaat melakukan aktivitas seks dapat menjadi penyebab konflik.

Kesenjangan itu perlu diminimalkan mengingat aktivitas seksual tidak melulu untuk mendapatkan keturunan (prokreasi). Ada tujuan lain, yaitu rekreasi. Di sinilah kepuasan masing-masing pihak menjadi hal yang penting diperhatikan. Bahkan hubungan seks juga bermanfaat untuk memberikan efek-efek psikologis yang positif, seperti rasa intim, nyaman, senang, lega, terlepas dari beban, dan relaksasi.

Hanya perlu diingat, hubungan seks jelas sesuatu yang suci dan hanya dilakukan dalam kerangka ikatan suami-istri. Hubungan seks yang sehat tidak ditujukan untuk menyakiti salah satu pihak, termasuk untuk memuaskan perilaku-perilaku seks yang menyimpang. Juga bukan wadah untuk menularkan penyakit-penyakit seksual yang membahayakan pasangan.

Apa jadinya jika pasutri tidak pernah mengkomunikasikan, memahami, atau mengantisipasinya lebih dulu? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, adanya potensi konflik jika salah satu pihak menganggap hubungan seks semata ditujukan untuk mendapatkan anak. Kalau anak tidak juga didapatkan, kemungk nannya mereka akan saling menyalahkan. Jika tidak ada pandangan yang positif terhadap tujuan mendasar dan hubungan seks, hubungan suami istri akan terganggu.

Kedua, hanya salah satu pihak yang terpuaskan sementara pihak satunya lagi mengaku “tidak masalah”. Kemungkinan lain, yang tidak puas lalu kecewa karena tidak mendapatkan keinginannya, atau malah panik karena hasratnya tidak tersalurkan. Yang lebih mengkhawatirkan, pihak yang kecewa akan mencari penyaluran melalui objek-objek pemuasan lainnya. Jika ketidakpuasan terus berlanjut, ada kemungkinan pihak yang tidak terpuaskan itu akan meninggalkan pasangannya.

Ketiga, adanya akibat-akibat yang bersifat menyakiti secara biologis maupun psikologis, seperti perasaan didominasi atau diperbudak secara seksual, dilecehkan, merasa diperkosa, disakiti secara fisik, atau bahkan dicelakakan.

KOMUNIKASI SEKS

* Kadang pasangan suami istri baru menyadari ada masalah atau dampak negatif akibat mereka tertutup dalam soal seks setelah berlangsung lama.

Dalam kasus-kasus konseling dan pendampingan (coaching) keluarga yang saya tangani, saya selalu menganjurkan supaya persoalan seks ini dibicarakan secara terbuka. Kuncinya, komunikasi yang terbuka, adanya sikap saling menerima, saling mendukung, serta saling memberi rasa nyaman dan aman kepada pasangan. Semua hal itu bisa dicapai jika pasangan suami-istri bersedia untuk terus belajar bersama.

Komunikasi soal seks yang terbuka tidak hanya dilakukan untuk mengantisipasi masalah ke depan, tetapi juga untuk mencari sumber-sumber dan menyelesaikan masalah itu sendiri. Pada kasus Marini dan David, maka solusinya ialah membuka pembicaraan mengenai problem yang dihadapi Marini.

Dalam diskusi itu keduanya bisa menyamakan persepsi dan mengutarakan keinginan masing-masing. Bia terjadi perbedaan, keduanya harus mencari pemecahannya bersama-sama. Prinsip yang harus dipegang teguh, kepuasan seks adalah untuk kedua belah pihak, dan seks bukan untuk menyalurkan hasrat mendominasi, melecehkan, apalagi menyakiti pihak lain.

Komunikasi seks yang baik membutuhkan bahan informasi yang baik pula. Sebab itu, sebaiknya pasangan suami istri mendapatkan sumber-sumber informasi yang benar mengenai seks, seperti dan buku-buku, majalah, jurnal, seminar, parenting class, atau dengan berkonsultasi pada konsultan seks dan konsultan keluarga. Jangan mempertaruhkan pemahaman mengenai seks yang sehat dalam keluarga dengan hanya mengandalkan informasi dari teman atau sumber lain yang diragukan validitas dan kualitasnya.

Sikap saling menerima dibutuhkan di sini mengingat tidak ada manusia yang sempurna. Ada beberapa situasi dan kondisi yang terkadang harus diterima, manakala terdapat kelemahan pasangan (termasuk kekurangan diri sendiri) yang belum bisa diperbaiki atau bahkan tidak mungkin diperbaiki. Yang terpenting adalah sikap konstruktif terhadap kekurangan atau kelemahan, dan perhatian difokuskan bukan pada kelemahannya, tetapi pada kelebihan dan upaya mencari solusi atas masalah yang dihadapi.

Sikap saling mendukung juga sangat diperlukan dalam kehidupan seks. Semisal, seorang suami mengalami disfungsi seksual, maka si istri dapat mengambil posisi sebagai pendamping yang tetap mendukung suaminya. Bentuk dukungan bisa berupa kesabaran dalam berhubungan seks, tidak menuntut secara berlebihan, selalu memberi semangat pada suami, dan juga terus mendukung dalam mencari pengobatan, dan lainnya.

Jika komunikasi sudah terbuka, dan masing-masing pihak juga saling menerima dan mendukung, maka besar kemungkinan kehidupan seks suami-istri itu akan dapat dijalani dengan rasa aman dan nyaman.

Jadi, bicarakanlah soal seks secara terbuka dengan pasangan, dapatkan pemahaman yang benar, dan nikmati hubungan seks dengan aman dan nyaman. Jangan sampai mengulang kasus Marini dan David.*
Sumber: Senior

No comments:

Post a Comment